Kecintaan pada sepatu menuntun Ni Luh Ary Pertami Djelantik memulai usaha sepatu pada 2003. Delapan tahun menekuni karier profesional belum membuatnya puas. Dengan alasan kesehatan, ia pulang ke Tanah Air, tepatnya Bali.
“Saya memutuskan memulai benar-benar dari awal. Pilihan jatuh pada bisnis sepatu yang memang saya sukai melebihi baju, tas, perhiasan atau pernak-pernik lainnya,” katanya.
Sejak awal, sulung dari dua bersaudara kelahiran 15 Juni 1975 ini memutuskan untuk memilih produk kelas atas. Tanpa pabrik, tanpa tukang, Ni Luh mulai berkreasi menumpang di pabrik sepatu milik temannya yang bergerak di mass product.
Ni Luh diberi amanah membuat desain, sampling dan produksi, sementara rekannya yang menjual. Tak disangka, desain pertamanya laris-manis di Eropa. Koleksi keduanya yang meluncur pada Oktober 2014 juga mendapat sambutan luar biasa.
Bahkan, sebuah toko yang cukup besar di Inggris memberinya kesempatan untuk menjual dengan mengusung merek Nilou, diambil dari namanya sendiri yang sedikit diubah agar terdengar seperti bahasa Prancis. Perlahan, produk Nilou mulai dikenal luas di Eropa.
“Saya fokus di product development sedangkan pemasaran dipercayakan sepenuhnya pada agen-agen yang memasok ke butik-butik,” kata dia. Ni Luh juga menjalin kerja sama dengan desainer ternama untuk memasok alas kaki dengan nama sang desainer yang ingin mengembangkan lini sepatu mereka. Ni Luh membantu dari mulai proses desain, sampling, hingga produksi.
Ni Luh ekspansi ke Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Sejak itu, sepatu buatannya mulai dilirik para desainer Australia yang mengajaknya menjalin kerjasama menyiapkan sepatu sesuai desain pakaian yang akan dipasarkan.
Lewat bendera CV Talenta Putra Dewata, yang pada 2006 dan sejak tahun lalu berubah menjadi PT Talenta Putra Dewata, Ni Luh kian gencar menjalin kerja sama bisnis. Tiga desainer Eropa dan 7 desainer Australia dengan merek seperti Charlie Joe, Nicholas Vinetti, dan Tristan Blair, serta desainer sepatu yang cukup terkenal di Australia berhasil digaetnya.
Merek Nilou sendiri sudah dipasarkan di 20 negara, antara lain Australia, Selandia Baru, negara-negara di Eropa, Amerika, Kepulauan Karibia, termasuk negara-negara di Asia. Ni Luh mendapat tawaran dari distributor di Australia dan Prancis sebagai patner. Namun, ia menolak karena dibarengi permintaan proses produksi dilakukan di Cina. Tanpa sepengetahuannya, rekan bisnis dari kedua negara itu mematenkan merek Nilou.
“Kami sempat down. Kepercayaan diri berkurang. Tapi, bisnis harus tetap berjalan. Kami masih punya tenaga dan semangat. Sebagai orang Bali, saya percaya hukum karma,” kata kata ibu dari Ines Saraswati, putri tunggalnya yang kini berusia 6 tahun. Benar saja, merek Nilou hanya bertahan semusim.
Selanjutnya, Ni Luh terpikir untuk membuat merek baru dengan mengusung nama keluarga dan terciptalah merek Niluh Djelantik di 2008 dan langsung dipatenkan. Setahun kemudian, high heels buatannya sudah melanglang buana di berbagai negara Eropa, Australia, dan Selandia Baru.
Label baru ini bahkan telah menembus Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah satu retailer terkemuka di Eropa dan mulai dipasarkan pada musim panas 2012. Ni Luh juga bekerja sama dengan retailer terkemuka untuk membuka Niluh Djelantik di Rusia.
Pada 2012, Niluh memutuskan mundur dari brand internasional dan fokus melayani pelanggan individual, memproduksi merek sendiri. (Source: https://bisnis.tempo. co/read/703398/niluh-djelantik-pembuat-sepatu-lokal-yang-mendunia)