Industri Sepatu Kulit Magetan Bertahan Di Pasar Bebas



Sentra industri Kulit Magetan berada di jalur perjalanan menuju obyek wisata Telaga Sarangan, dipusatkan di Jalan Sawo, Kelurahan Selosari, kurang lebih 1 Km arah barat dari alun-alun. Di sentra industri kulit ini diproduksi sepatu, tas, jaket, sabut, aneka souvenir seperti gantungan kunci serta
pernak-pernik berbahan baku kulit.

 “Sebenarnya MEA bagi kami bukan suatu hambatan, tapi merupakan tantangan yang dihadapi agar produk kami lebih baik lagi,” kata Eko Patrianto, pemilik rumah industri (home industry) kulit di Jalan Sawo. Untuk menghadapi MEA, para perajin telah mempersiapkan beberapa strategi. Salah
satunya dengan tetap melayani pesanan pembeli atau konsumen sepatu meskipun hanya satu pasang.

“Ini kebijakan umum, bukan hanya saya. Di Magetan ini, khususnya kerajinan kulit, memang paling nyentrik dibading kota lain. Produknya tidakmassal, tetapi ditekankan pada ritel/eceran. Orang pesan satu pasang pun dengan model bagaimana pun akan dilayani,” kata suami Teta Pudji Rahayu.

Tim UMKM sudah melakukan survey ke beberapa kota besar yang sedikit banyak telah terdampak MEA. Produknya kami bawa pulang sebagaiperbandingan dengan produk asli Magetan. Kalau produk dari luar lebih bagus, kita diskusikan dengan perajin untuk membuat yang lebih bagus. 

Para perajin  sudah bekerjasama dengan Balai Pengembangan Persepatuan Indonesia Sidoarjo, di antaranya untuk mengatasi kalau ada masalah persaingan produk. “Ini lho Magetan, semakin banyak krisis, semakin bagus, itu merupakan tantangan. Semakin ada persaingan, semakin bersemangat untuk bisa lebih baik lagi,” katanya.

Tim UMKM Magetan telah survey di berbagai pameran. Rumah industri di Magetan berbeda dengan daerah lain. Jika daerah lain memberlakukan penjualan langsung, di Magetan lebih banyak melayani pesanan. “Tumpukan barang di bagian produksi tadi, semua merupakan pesanan, 90 persen milik
pemesan. Dari 60 pasang, yang 50 pasang milik pemesan dan itu sudah menjadi uang,” katanya.

Kalau daerah lain punya tim marketing, kami mempromosikan lewat brosur dan katalog yang kami titipkan pada biro-biro perjalanan. Karena itu daerah pemasarannya tidak bisa disebut di mana, karena pembeli yang datang. Mereka tahu dari biro-biro perjalanan, dari media online maupun yang
melihat langsung.

Kendala SDM

Di Magetan terdapat 39 gerai perajin kulit, namun yang memproduksi hanya sekitar 14 rumah industri. Konsumen tidak tahu apakah produknya asli buatan Magetan karena yang dijual 80 persen produk dari luar daerah. Dalam satu minggu ada sekita 4-5 sales yang masuk Magetan. Mereka berasal dari Bogor, Sidoarjo, dan Mojokerto. “Di sini semua produk ada, anggap saja ini MEA kecil-kecilan,” selorohnya.

“Kalau diberi label made in Magetan, para pedagang dari luar Magetan juga pintar, dia akan meniru juga. Kalau begini terus bagaimana mau go international. Kita ini dari dulu hingga sekarang hanya berkutat pada sumber daya manusianya, kita selalu uber-uberan dengan tengkulak,” katanya.

Para perajin juga sudah minta pada pemerintah kabupaten untuk disediakan balai latihan kerja (BLK) guna membina para pekerja agar lebih mendalami ilmu persepatuan dan manajemennya. Agar sentra kulit di Magetan bisa diandalkan, diperlukan SDM yang ahli juga.

Perajin yakin Magetan lebih unggul dari Mojokerto maupun Sidoarjo. Magetan memiliki Lingkungan Industri Kulit (LIK) yang terletak di Kelurahan Ringin Agung. LIK merupakan industri penyamakan kulit dengan proses nabati maupun kimiawi. Untuk sumber daya manusia yang siap pakai, diakui
sulit dicari. Sebelum mempekerjakan, pengusaha harus melatihnya terlebih dahulu. Padahal pelatihan perlu waktu dua tahun untuk benar-benar bisa memahami persepatuan.

Di Magetan bahan baku sangat melimpah, tapi hanya terserap 4 persen. Untuk itu diperlukan UMKM yang lebih banyak lagi dan bisa menampung tenaga kerja yang lebih banyak. Magetan sangat membutuhkan sebuah BLK. “Kalau pemkab mengadakan pelatihan banyak yang berebut ikut,” ujarnya.

Selama kurun waktu lima belas tahun terakhir, telah terjadi dua kali krisis keuangan yang menyebabkan perlambatan proses pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu krisis moneter tahun 1997-1998 dan krisis keuangan global tahun 2008, yang ditandai oleh penurunan harga aset dan kegagalan perusahaan.

Pada krisis 1997, sentra kulit Magetan tidak mengalami kendala apapun. Katakanlah harga-harga produk  naik untuk pabrikan, seperti lem, dan bahan baku kulit, sehingga akan menaikkan harga. “Namun kita tahan dulu, yang penting pesanan tidak turun. Pesanan dari agen-agen maupun eceran tetap berlimpah. Tiap hari kita mengirim pesanan ke kota-kota lain,” kata Eko.

Jadi perlambatan ekonomi tersebut tidak berpengaruh pada UMKM Magetan, namun bagi produk pabrikan sangat mempengaruhi. Karena yang naik adalah barang-barang import, seperti lem, sol, maupun lining, namun untuk harga bahan baku seperti kulit mengalami penurunan. Saat terjadi
perlambatan ekonomi 1997, UMKM Magetan malah kewalahan melayani pesanan. Memang, saat terjadi perlambatan ekonomi otomatis daya beli masyarakat menurun. Namun alas kaki atau sepatu merupakan kebutuhan pokok.

Kabupaten Magetan juga memiliki berbagai produk unggulan lain, di antaranya anyaman, batik sido mukti dan makanan olahan. “Kami telah melakukan pendampingan untuk sumber daya manusia,” kata Kabag Humas, Saif Muclisun. Dikatakannya, pembinaan untuk mengembangkan usaha kecil industri di Magetan itu sudah masuk dalam program prioritas pembangunan yakni Pendidikan, Pertanian, Pariwisata, Industri, Perdagangan, dan Kesehatan Plus Infrastruktur dan Pengentasan Kemiskinan.

Selain itu, hasil produknya  dikirim pada pameran-pameran, SDMnya diikutsertakan diklat, memberi penyuluhan, memberikan fasiltas alat-alat baru. Juga selalu hadir dalam pameran. (Source: http://jatimprov.go. id/read/umkm/industri-kulit-magetan-bertahan)